IDEAtimes.id, Opini;- Korupsi ibarat Virus Korona yang menggerogoti tubuh manusia, jika tidak segera diobati, dia akan merusak sistem organ lain, demikian pula dengan perilaku korupsi, jika tidak dicegah dan ditindak sejak dini, akan melumpuhkan keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Kejahatan ini tidak mengenal tempat dan waktu. Kapan, dimana dan dalam situasi apapun dikala ada kesempatan, pelakunya akan beraksi tanpa berpikir panjang.
Saat ini di seluruh dunia termasuk Indonesia, terpapar wabah Pandemi Covid-19. Korban bertambah dari hari ke hari. Tercatat pertanggal 15 April 2020, positif 5.136, sembuh 446, dan meninggal 469, sumber: Kementerian Kesehatan RI. Efek domino dari serangan Virus tersebut mulai terasa.
Masyarakat nampak kewalahan menghadapi gelombang kedua invasi Virus Korona yang tak kasat mata, namun berdampak langsung terhadap situasi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pendidikan, lingkungan hidup, keamanan, ketahanan negara dan lain sebagainya.
Secara progresif, pemerintah pun meresponnya dengan mengeluarkan berbagai kebijakan di antaranya Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, yang diteken Presiden Jokowi pada 31 Maret 2020. Perppu diterbitkan karena pemerintah menganggap adanya kegentingan yang memaksa (overmacht) disebabkan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat terkait munculnya Pandemi yang disebabkan oleh Virus Korona.
Kebal Hukum
Melalui Perppu ini, pemerintah mengucurkan dana tambahan belanja APBN Tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 yang totalnya sebesar Rp405,1 Triliun. Besarnya biaya yang dikeluarkan negara tersebut harus menjadi atensi pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan pengawasan maksimal dan ekstra hati-hati dalam penggunaannya.
Jika tidak, dikhawatirkan berpotensi korupsi. Dalam Pasal 27 Perppu No.1/2020, terkait biaya penanganan pandemi Covid-19 dan penyelamatan perekonomian, bukan kerugian negara serta tindakan pejabat pelaksananya dengan itikad baik tidak dapat dituntut/digugat secara pidana/perdata dan bukan objek gugatan TUN.
Dalam Pasal 27 Ayat (2) terkesan ada upaya “kebal hukum” dari berbagai jerat pidana ataupun perdata. Meskipun, ada frasa “itikad baik” yang menjadi ukuran/batasan ketika pejabat negara tidak memenuhi kriteria pengelolaan keuangan/anggaran penanggulangan Covid-19 atau bila ditemukan ada pihak yang menyalahgunakan kewenangan serta mengambil keuntungan di tengah wabah Covid-19, tentu dapat dijerat dengan UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Jadi tidak menegasikan tindakan projustisia aparat penegak hukum ketika hendak melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana gratifikasi, suap atau pemerasan dalam jabatan. Apalagi unsur “Kerugian Negara” dimaksud mengacu kepada penggunaan APBN.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri telah mengingatkan jika melakukan tindak pidana korupsi saat bencana, seperti pandemi virus corona yang terjadi saat ini dapat diancam pidana mati sebagaimana dikualifisir pada Pasal 2 Ayat (2) UU 31/1999 menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Dalam penjelasannya frasa “keadaan tertentu” itu sebagai pemberatan hukuman jika korupsi dilakukan, diantaranya dalam keadaan bencana alam nasional, negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Keselamatan Rakyat
Indonesia secara konstitusional menjunjung tinggi konsepsi negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945. Salah satu variabel penting dalam keberlangsungan penyelenggaraan bernegara adalah penegakan hukum sebagai ujung tombak tercapainya keadilan. Asas hukum mengatakan “Salus Populi Suprema Lex Este” artinya, “Keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi”.
Seperti ucapan Presiden Ghana, Nana Addo Dankwa Akufo Addo “Kami tahu bagaimana menghidupkan kembali perekonomian, yang kami tidak tahu adalah bagaimana menghidupkan kembali orang meninggal”.
Meskipun situasinya serba sulit, namun tidak akan menghalangi upaya penegakan hukum terhadap siapapun yang coba memanfaatkan keadaan. Sebuah semboyan hukum yang sangat terkenal, “Fiat justitia ruat coelum.” artinya, “Tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh”.
Fatwa dahsyat ini diucapkan oleh seorang pemangku kekuasaan Romawi, Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM). Nampaknya pepatah tersebut relevan dengan kondisi bangsa saat ini.
Tegakkan hukum seadil-adilnya tanpa ada diskriminasi (equality before the law). Tidak ada tempat bagi para koruptor di negeri ini. Awasi secara ketat dan maksimal penggunaan anggaran penanganan Covid-19 tersebut sehingga tepat sasaran. Semoga wabah Korona segera berlalu dan kehidupan masyarakat berangsur pulih kembali seperti sedia kala, dalam suasana bahagia menyambut bulan suci Ramadhan. Amin.
Oleh: Abdul Aziz Saleh, S.H., M.H (Tlp/WA. 081342193382)
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia
(PBHI) Sulawesi Selatan