IDEAtimes.id, NUNUKAN – Luapan kemarahan berujung protes ini berawal dilaporkannya 17 masyarakat di 5 desa, Kecamatan Sebuku oleh pihak perusahaan PT. KHL. Mereka berasal dari 5 desa, Desa Tetaban, Desa Bebanas, Melasu Baru, Lulu dan desa Sujau.
Setelah melakukan orasi dan penyampaian aspirasi di depan kantor DPRD Nunukan, pengunjukrasa diterima Rapat Dengar Pendapat (RDP). Rapat dipimpin oleh Ketua Komisi I DPRD Nunukan Andi Krislina bersama Ketua Komisi II DRPD Nunukan Wilson, dihadiri pula anggota DPRD lainnya.
Kemudian Ketua Aman Kaltara, AMAN Komunitas Dayak Agabak, Pasukan Merah Dayak yang diwakili oleh Mariono yang juga Ketua Pemuda Penjaga Perbatasan dan masyarakat dari 5 desa di Kecamatan Sebuku.
Alson selaku pengurus harian AMAN komunitas Dayak Agabag, menjadi juru bicara perwakilan masyarakat. Dia mengatakan, terkait dengan eksistensi masyarakat adat, sebelum Indonesia ada, masyarakat adat sudah ada.
Dia menyinggung, dalam konstitusi pasal 18 poin d, Negara secara tegas mengakui dan menghormati adat istiadat setempat.
Namun implementasi di lapangan justru menyingkirkan masyarakat adat dengan alasan investasi. Padahal, kehadiran investasi justru menjadi keresahan masyarakat adat 5 desa itu.
“Investasi malah tidak memihak pada masyarakat adat. Hadirnya perusahaan seharusnya mempunyai feedback pada kesejahteraan masyarakat. Bukan untuk memvonis masyarakat mencuri ditanahnya sendiri,” ujar Alson.
Theodorus selaku advokat pendamping dari 17 masyarakat Adat Dayak Agabag yang merasa dikriminalisasi oleh PT.KHL, menyambung, 17 warga itu dilaporkan oleh PT.KHL ke Polres Nunukan pada tanggal 17 Desember 2020.
Kemudian lima dari 17 warga sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan pencurian buah sawit.
Meski tuduhannya pencurian, tapi kelimanya dijerat Pasal 107 huruf a dan/atau Pasal 107 huruf d Undang- Undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.
Dalam RDP dengan DPRD Nunukan, tidak dihadiri oleh pihak perusahaan PT KHL. Hal itu membuat Theodorus dan warga sangat kecewa.
“PT KHL tidak hanya menghina dan merugikan warga Sebuku, tapi menginjak-injak martabat lembaga DPRD Nunukan, karena tidak bersedia datang dalam undangan pertemuan digelar hari ini. Kami menuntut perusahaan untuk mencabut laporan kepolisian dan berikan kami kesempatan, masyarakat bekerja, bebaskan 500 meter lahan sisi kanan dan kini jalan, untuk kami bisa hidup dengan berkebun,” tuturnya.
Masyarakat menuntut 2 hal yaitu; yang pertama meminta DPRD sebagai perwakilan rakyat dapat berkonsultasi secepat mungkin dengan pihak perusahaan agar mencabut laporan pada Polres Nunukan, dan yang kedua meninjau kembali izin HGU pada PT.KHL.
Pimpinan rapat Wilson menyimpulkan akan melakukan pertemuan dengan pihak PT. KHL secepat mungkin untuk melakukan klarifikasi.
“Akan ada pertemuan kembali secepat mungkin dan meminta pihak KHL mencabut laporan mereka terhadap saudara saudara kita yang statusnya menjadi tersangka,” tutupnya. (**)