Kamis, Maret 13, 2025

Opini : Demokrasi yang Belum Ditemukan

Terkait

IDEAtimes.id, OPINI – Bicara Tentang Demokrasi, Boleh dikata Indonesia paling ahli.  Tetapi melaksanakan Demokrasi sesuai  dengan watak Indonesia,  Bangsa Indonesia bisa dibilang paling tidak ahli. Selama lebih dari setengah abad, Bangsa Indonesia telah menerapkan berbagai macam  bentuk Demokrasi dengan hasil yang mencemaskan.

Pada awal kemerdekaan sesungguhnya Indonesia telah mulai menata pemerintahan dengan bentuk demokrasi yang nyata. Tetapi karena tidak diimbangi dengan elemen-elemen organanisasi kenegaraan secara lengkap, kehidupan demokrasi itu berjalan dengan pincang.

Pada masa ini partai oposisi dapat setiap saat mengadakan “mosi tidak percaya” untuk menjatuhkan kabinet, sehingga kabinet jatuh bangun terus- menerus. Krisis kabinet yang terjadi pada masa Demokrasi Liberal itu menjengkelkan banyak orang. Termasuk Soekarno dan Mohammad Hatta.

Soekarno kemudian menawarkan demokrasi dalam bentuk yang baru, yaitu Demokrasi Terpimpin. Akan tetapi, Soekarno menerapkan model demokrasi barunya itu justru melalui “kudeta demokrasi” dengan mengeluarkan Dekrit Presiden Pada tanggal 5 Juli 1959 dan membubarkan Konstituante, sebuah langkah yang malah menimbulkan spekulasi banyak pihak, bahwa dengan Demokrasi Terpimpin itu Soekarno ingin menempatkan dirinya sebagai pusat kekuatan politik bangsa Indonesia, dengan kekuasaan penuh terpusat di tangannya.

Mohammad Hatta bahkan sudah bisa mengukur ukuran-ukuran objektif bahwa Demokrasi Terpimpin akan bermuara pada kegagalan. Untuk mengantisipasi situasi itu Hatta kemudian menulis Demokrasi Kita

Di bawah Demokrasi Terpimpin situasi Indonesia memang bukan menjadi lebih baik, malah ambruk di semua sektor kehidupan. Sektor ekonomi diambang kehancuran. Stabilitas keamanan tidak terkendali. Secara praktis, rezim Demokrasi Terpimpin tidak mampu mewujudkan keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Puncak dari segala ekses model Demokrasi Terpimpin adalah munculnya Peristiwa 30 September 1965, sekaligus mengakhiri era sistem demokrasi ini. Dalam hal ini, antisipasi Hatta dibuktikan sejarah, yaitu bahwa sistem Demokrasi Terpimpin telah membawa petaka bagi bangsa Indonesia. Penyelenggaraan demokrasi telah gagal di Indonesia karena tidak mampu mem-bendung kecenderungan rezim penguasa.

Rezim Orde Baru di Bawah Soeharto kemudian menerapkan model demokrasi yang, menurutnya, sesuai dengan logika bangsa yang berdasarkan Pancasila. Ia menyebutnya sebagai Demokrasi Pancasila. Karena Pancasila merupakan ideologi dan pandangan hidup bangsa, maka demokrasi mesti berjalan selaras dengan  nilai-nilai luhur Pancasila.

Demokrasi harus tumbuh sesuai dengan moral agama dan nilai-nilai ketuhanan. Demokrasi harus selaras dengan etika ketimuran dan nilai-nilai kemanusian. Demokrasi harus digalang melalui semangat persatuan. Demokrasi juga, demokrasi harus berjalan di atas komitmen bersama dan berdasar asas musyawarah mufakat. Dan demokrasi harus ditujukan untuk memenuhi keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Di bawah Demokrasi  Pancasila Indonesia dapat merasakan stabilitas Nasional yang cukup memadai. Keamanan terkendali.

Sektor ekonomi maju pesat. Pembangunan diupayakan dapat merata ke pelosok-pelosok negeri, meskipun hanya sedikit yang berhasil. Target dari sistem Demokrasi Pancasila adalah pembangunan ekonomi yang berencana, untuk kesejahteraan rakyat. Karena itu, stabilitas politik dan keamanan menjadi persoalan bangsa yang amat penting.

Bagaimana akan tercipta kesejahteraan tanpa situasi politik dan keamanan yang stabil. Untuk itu “rezim Demokrasi Pancasila” memberlakukan “Undang-Undang Anti Subversi”, alat untuk “mengamankan” para petualang politik yang dipandang menjadi pengacau keamanan.

Rezim Demokrasi Pancasila sukses dalam beberapa hal, tetapi tidak sukses  dalam banyak hal. Lemahnya bidang pengawasan dalam proses pembangunan ekonomi, telah menyebabkan terjadinya “negosiasi” antara elite birokrasi dengan para pengusaha kelas menengah –atas.

Muncullah praktik-praktik yang kemudian dikenal dengan korupsi,  kolusi dan nepotisme (KKN), yang menguasai hampir setiap kegiatan  birokrasi, dari pusat merembet kedaerah-daerah. Kondisi Indonesia pada masa ini persis seperti digambarkan oleh Pakar Hukum dan Theologi berkebangsaan Jerman, Max Weber sebagai ciri-ciri “Negara Lunak”, yaitu negara yang menbjadikan praktik-praktik KKN dan semacamnya sebagai kegiatan yang membudaya tanpa kemauan secara sungguh-sungguh untuk memberantasnya. Akibatnya, negara diwarnai ketimpangan sosial ekonomi dan ketidakadilan kehidupanb rakyat.

Di sisi lain situasi politik ternyata berada pada posisi “api dalam sekam”. Selama 32 tahun di bawah rezim Demokrasi Pancasila, rakyat semakin merasa hak-hak politiknya dipasung. Pemberlakuan Undang-Undang Anti Subversi dan pembatasan kebebesan pers yang terlalu ketat, telah dirasakan menyumbat kran demokrasi. Dengan demikian, pertumbuhan kehidupan politik yang demokrastis Versi Demokrasi Pancasila gagal total. Lalu apa keistewaaan sistem demokrasi ini ?

Sayidiman Suryohadiprojo (Jend. Purn.), mantan Gunbernur Lemhananas, menyebut, penyelenggaraan Demokrasi Pancasila mengandung kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi eksekutif yang tidak dapat digoyahkan, paling tidak selama lima tahun, sehingga dapat menjalankan program dan konsepnya dengan lancar.

Kelemahannya adalah bahwa posisi eksekutif yang tidak dapat digoyahkan itu mempertanyakan berjalannya kedaulatan rakyat. Padahal tujuan Demokrasi Pancasila sesuai UUD 1945 adalah bnerfungsinya kedaulatan rakyat di Indonesia (Sayidiman Suryohadiprojo,  1992).

Maka, persoalannya menjadi setali tiga uang dengan praktik politik Demokrasi Terpimpin. Melalui Demokrasi Pancasila, rezim Orde Baru ingin membuat legitimasinya kekuasaan dengan kekuatan penuh di dalam genggamannya.

Tetapi, ketika rakyat mulai mempertanyakan kedaulatan rakyat, gelombang pertanyaan itu menerjang begitu dahsyat, danb sumbatan kran demokrasi jebol. Lagi-lagi penyelenggaraan demokrasi gagal di Indonesia karena terlalu hanyut dalam kecenderungan rezim penguasa.

Bersamaan dengan kompetisi dunia menumbuhkan kembali semangat demokratisasi pengalaman sejarah mengajak Indonesia mencoba menggunakan Demokrasi “Terbuka”. Tahun 1998 merupakan babak keempat sejarah demokrasi di Indonesia dimulai. Tetapi menerapkan Demokrasi “Terbuka” untuk realitas Indonesia saat itu sesungguhnya merupakan perhitungan politik yang cukup berani, mengingat rakyat pada umumnya belum memahami secara memadai apa itu demokrasi.

Itulah yang menyebabkan model demokrasi pada era ini menjadi sangat menarik. Demokrasi berjalan tanpa arah dan tidak ada yang mampu mengendalikan. Masing-masing kelompok menyuarakan demokrasi berdasarkan kepentingan sendiri. Rakyat merasakan kebebasan yang luar biasa. Mereka berusaha menjalankan demokrasi sembari tidak tahu hakikat demokrasi yang sebenarnya.

Akibatnya, demokrasi, unjuk rasa, pengerahan massa, dan gejolak anarkis, bahkan sederetan perang antar etnis, menjadi trend model demokrasi ini. Di tengah demokrasi “Terbnuka” kondisi Indonesia semakin ambruk di semua sektor kehidupan. Kali ini  penyelenggaraan demokrasi gagal karena tidak saja tidak dapat membendung kecenderungan rezim penguasa, tetapi juga terlalu hanyut dalam kecenderungan emosi massa-rakyat.

Untuk kesekian kali  penyelenggaraan demokrasi di Indonesia patut dipertanyakan. Semua itu telah membuat kenyataan pahit bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia tidak seindah ketika demokrasi itu diteorikan. Sebutlah misalnya Soekarno, jauh hari sebelum  menerapkan Demokrasi  Terpimpin, pada era 1930-an telah menawarkan gagasan-gagasan tentang demokrasi bagi Indonesia di masa yang akan datang.

Sebuah pemikiran  demokrasi yang sangat populer di waktu itu, yaitu “Demokrasi Politik  dan Demokrasi Ekonomi”, dalam gagasannya itu ia menentang sistem demokrasi ala Barat yang tidak memihak  pada kepentingan  masyarakat kecil yang disebutnya sebagai  “kaum marhaen”.

Mohammad Hatta  mungkin boleh dikategorikan sebagai kampiun demokrasi  Indonesia yang paling konsisten  dengan gagasan dan pemikirannya. Pada  masa pergerakan ia telah menulis banyak artikel yang dimuat  di berbagai  surat kabar sekitar demokrasi  Indonesia dan kedaulatan rakyat.

Konsistensi Hatta itu terbukti ketika ia harus mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden demi “menghidari” Demokrasi  Terpimpin  yang dipaksakan untuk diberlakukan oleh Bung Karno. Ataukah kita perlu menoleh pada pemikiran-pemikiran demokrasi yang lain, yang pernah muncul dalam perjalanan sejarah Indonesia?

Para tokoh yang pernah bersama-sama membangun republik ini, yang ditulis pada periode dan  zaman yang tidak selalu sama. Pada masa sebelum  Indonesia Merdeka danb ketika para  tokoh  tersebut masih berusia relatif muda. Hanya  dua buah tulisan yang dimuat Mohammad Natsir berjudul “Bukan Sekular, Bukan Teokrasi,Tapi Teistik Demokrasi” danb “Alasan yang Melanggar Prinsip Demokrasi”.

Kedua tulisan ini  merupakan  bagian dari pidatonya di depan Sidang Majelis  Konstituante pada 1957-1959, dengan judul Islam Sebagai Dasar Negara. Lalu, pemikiran demokrasinya Kahar Muzakkar yang  ditulis pada masa Demokrasi Terpimpin dan berisi protes terhadap demokrasi yang  diterapkan oleh Presiden Soekarno tersebut.

Oleh : Mudzakkar NB

Wakil Bendahara Umum PB HMI ( Periode 2002-2004 ).

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung (UNPAD).

Catatan : Tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh penulis.

spot_img
Terkini

Hadiri Bukber KKLR Sulsel, Wakil Wali Kota Aliyah Nikmati Makan Kapurung

IDEAtimes.id, MAKASSAR - Wakil Wali kota Makassar Aliyah Mustika Ilham (AMI) menyempatkan menghadiri buka puasa bersama pengurus BPW Kerukunan...
Terkait
Terkini

Hadiri Bukber KKLR Sulsel, Wakil Wali Kota Aliyah Nikmati Makan Kapurung

IDEAtimes.id, MAKASSAR - Wakil Wali kota Makassar Aliyah Mustika Ilham (AMI) menyempatkan menghadiri buka puasa bersama pengurus BPW Kerukunan...

Berita Lainnya