IDEAtimes.id, OPINI – Bicara Tentang Demokrasi, Boleh dikata Indonesia paling ahli. Tetapi melaksanakan Demokrasi sesuai dengan watak Indonesia, Bangsa Indonesia bisa dibilang paling tidak ahli. Selama lebih dari setengah abad, Bangsa Indonesia telah menerapkan berbagai macam bentuk Demokrasi dengan hasil yang mencemaskan.
Pada awal kemerdekaan sesungguhnya Indonesia telah mulai menata pemerintahan dengan bentuk demokrasi yang nyata. Tetapi karena tidak diimbangi dengan elemen-elemen organanisasi kenegaraan secara lengkap, kehidupan demokrasi itu berjalan dengan pincang.
Pada masa ini partai oposisi dapat setiap saat mengadakan “mosi tidak percaya” untuk menjatuhkan kabinet, sehingga kabinet jatuh bangun terus- menerus. Krisis kabinet yang terjadi pada masa Demokrasi Liberal itu menjengkelkan banyak orang. Termasuk Soekarno dan Mohammad Hatta.
Soekarno kemudian menawarkan demokrasi dalam bentuk yang baru, yaitu Demokrasi Terpimpin. Akan tetapi, Soekarno menerapkan model demokrasi barunya itu justru melalui “kudeta demokrasi” dengan mengeluarkan Dekrit Presiden Pada tanggal 5 Juli 1959 dan membubarkan Konstituante, sebuah langkah yang malah menimbulkan spekulasi banyak pihak, bahwa dengan Demokrasi Terpimpin itu Soekarno ingin menempatkan dirinya sebagai pusat kekuatan politik bangsa Indonesia, dengan kekuasaan penuh terpusat di tangannya.
Mohammad Hatta bahkan sudah bisa mengukur ukuran-ukuran objektif bahwa Demokrasi Terpimpin akan bermuara pada kegagalan. Untuk mengantisipasi situasi itu Hatta kemudian menulis Demokrasi Kita
Di bawah Demokrasi Terpimpin situasi Indonesia memang bukan menjadi lebih baik, malah ambruk di semua sektor kehidupan. Sektor ekonomi diambang kehancuran. Stabilitas keamanan tidak terkendali. Secara praktis, rezim Demokrasi Terpimpin tidak mampu mewujudkan keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Puncak dari segala ekses model Demokrasi Terpimpin adalah munculnya Peristiwa 30 September 1965, sekaligus mengakhiri era sistem demokrasi ini. Dalam hal ini, antisipasi Hatta dibuktikan sejarah, yaitu bahwa sistem Demokrasi Terpimpin telah membawa petaka bagi bangsa Indonesia. Penyelenggaraan demokrasi telah gagal di Indonesia karena tidak mampu mem-bendung kecenderungan rezim penguasa.
Rezim Orde Baru di Bawah Soeharto kemudian menerapkan model demokrasi yang, menurutnya, sesuai dengan logika bangsa yang berdasarkan Pancasila. Ia menyebutnya sebagai Demokrasi Pancasila. Karena Pancasila merupakan ideologi dan pandangan hidup bangsa, maka demokrasi mesti berjalan selaras dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Demokrasi harus tumbuh sesuai dengan moral agama dan nilai-nilai ketuhanan. Demokrasi harus selaras dengan etika ketimuran dan nilai-nilai kemanusian. Demokrasi harus digalang melalui semangat persatuan. Demokrasi juga, demokrasi harus berjalan di atas komitmen bersama dan berdasar asas musyawarah mufakat. Dan demokrasi harus ditujukan untuk memenuhi keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Di bawah Demokrasi Pancasila Indonesia dapat merasakan stabilitas Nasional yang cukup memadai. Keamanan terkendali.
Sektor ekonomi maju pesat. Pembangunan diupayakan dapat merata ke pelosok-pelosok negeri, meskipun hanya sedikit yang berhasil. Target dari sistem Demokrasi Pancasila adalah pembangunan ekonomi yang berencana, untuk kesejahteraan rakyat. Karena itu, stabilitas politik dan keamanan menjadi persoalan bangsa yang amat penting.
Bagaimana akan tercipta kesejahteraan tanpa situasi politik dan keamanan yang stabil. Untuk itu “rezim Demokrasi Pancasila” memberlakukan “Undang-Undang Anti Subversi”, alat untuk “mengamankan” para petualang politik yang dipandang menjadi pengacau keamanan.
Rezim Demokrasi Pancasila sukses dalam beberapa hal, tetapi tidak sukses dalam banyak hal. Lemahnya bidang pengawasan dalam proses pembangunan ekonomi, telah menyebabkan terjadinya “negosiasi” antara elite birokrasi dengan para pengusaha kelas menengah –atas.
Muncullah praktik-praktik yang kemudian dikenal dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), yang menguasai hampir setiap kegiatan birokrasi, dari pusat merembet kedaerah-daerah. Kondisi Indonesia pada masa ini persis seperti digambarkan oleh Pakar Hukum dan Theologi berkebangsaan Jerman, Max Weber sebagai ciri-ciri “Negara Lunak”, yaitu negara yang menbjadikan praktik-praktik KKN dan semacamnya sebagai kegiatan yang membudaya tanpa kemauan secara sungguh-sungguh untuk memberantasnya. Akibatnya, negara diwarnai ketimpangan sosial ekonomi dan ketidakadilan kehidupanb rakyat.
Di sisi lain situasi politik ternyata berada pada posisi “api dalam sekam”. Selama 32 tahun di bawah rezim Demokrasi Pancasila, rakyat semakin merasa hak-hak politiknya dipasung. Pemberlakuan Undang-Undang Anti Subversi dan pembatasan kebebesan pers yang terlalu ketat, telah dirasakan menyumbat kran demokrasi. Dengan demikian, pertumbuhan kehidupan politik yang demokrastis Versi Demokrasi Pancasila gagal total. Lalu apa keistewaaan sistem demokrasi ini ?
Sayidiman Suryohadiprojo (Jend. Purn.), mantan Gunbernur Lemhananas, menyebut, penyelenggaraan Demokrasi Pancasila mengandung kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi eksekutif yang tidak dapat digoyahkan, paling tidak selama lima tahun, sehingga dapat menjalankan program dan konsepnya dengan lancar.
Kelemahannya adalah bahwa posisi eksekutif yang tidak dapat digoyahkan itu mempertanyakan berjalannya kedaulatan rakyat. Padahal tujuan Demokrasi Pancasila sesuai UUD 1945 adalah bnerfungsinya kedaulatan rakyat di Indonesia (Sayidiman Suryohadiprojo, 1992).
Maka, persoalannya menjadi setali tiga uang dengan praktik politik Demokrasi Terpimpin. Melalui Demokrasi Pancasila, rezim Orde Baru ingin membuat legitimasinya kekuasaan dengan kekuatan penuh di dalam genggamannya.
Tetapi, ketika rakyat mulai mempertanyakan kedaulatan rakyat, gelombang pertanyaan itu menerjang begitu dahsyat, danb sumbatan kran demokrasi jebol. Lagi-lagi penyelenggaraan demokrasi gagal di Indonesia karena terlalu hanyut dalam kecenderungan rezim penguasa.
Bersamaan dengan kompetisi dunia menumbuhkan kembali semangat demokratisasi pengalaman sejarah mengajak Indonesia mencoba menggunakan Demokrasi “Terbuka”. Tahun 1998 merupakan babak keempat sejarah demokrasi di Indonesia dimulai. Tetapi menerapkan Demokrasi “Terbuka” untuk realitas Indonesia saat itu sesungguhnya merupakan perhitungan politik yang cukup berani, mengingat rakyat pada umumnya belum memahami secara memadai apa itu demokrasi.
Itulah yang menyebabkan model demokrasi pada era ini menjadi sangat menarik. Demokrasi berjalan tanpa arah dan tidak ada yang mampu mengendalikan. Masing-masing kelompok menyuarakan demokrasi berdasarkan kepentingan sendiri. Rakyat merasakan kebebasan yang luar biasa. Mereka berusaha menjalankan demokrasi sembari tidak tahu hakikat demokrasi yang sebenarnya.
Akibatnya, demokrasi, unjuk rasa, pengerahan massa, dan gejolak anarkis, bahkan sederetan perang antar etnis, menjadi trend model demokrasi ini. Di tengah demokrasi “Terbnuka” kondisi Indonesia semakin ambruk di semua sektor kehidupan. Kali ini penyelenggaraan demokrasi gagal karena tidak saja tidak dapat membendung kecenderungan rezim penguasa, tetapi juga terlalu hanyut dalam kecenderungan emosi massa-rakyat.
Untuk kesekian kali penyelenggaraan demokrasi di Indonesia patut dipertanyakan. Semua itu telah membuat kenyataan pahit bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia tidak seindah ketika demokrasi itu diteorikan. Sebutlah misalnya Soekarno, jauh hari sebelum menerapkan Demokrasi Terpimpin, pada era 1930-an telah menawarkan gagasan-gagasan tentang demokrasi bagi Indonesia di masa yang akan datang.
Sebuah pemikiran demokrasi yang sangat populer di waktu itu, yaitu “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi”, dalam gagasannya itu ia menentang sistem demokrasi ala Barat yang tidak memihak pada kepentingan masyarakat kecil yang disebutnya sebagai “kaum marhaen”.
Mohammad Hatta mungkin boleh dikategorikan sebagai kampiun demokrasi Indonesia yang paling konsisten dengan gagasan dan pemikirannya. Pada masa pergerakan ia telah menulis banyak artikel yang dimuat di berbagai surat kabar sekitar demokrasi Indonesia dan kedaulatan rakyat.
Konsistensi Hatta itu terbukti ketika ia harus mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden demi “menghidari” Demokrasi Terpimpin yang dipaksakan untuk diberlakukan oleh Bung Karno. Ataukah kita perlu menoleh pada pemikiran-pemikiran demokrasi yang lain, yang pernah muncul dalam perjalanan sejarah Indonesia?
Para tokoh yang pernah bersama-sama membangun republik ini, yang ditulis pada periode dan zaman yang tidak selalu sama. Pada masa sebelum Indonesia Merdeka danb ketika para tokoh tersebut masih berusia relatif muda. Hanya dua buah tulisan yang dimuat Mohammad Natsir berjudul “Bukan Sekular, Bukan Teokrasi,Tapi Teistik Demokrasi” danb “Alasan yang Melanggar Prinsip Demokrasi”.
Kedua tulisan ini merupakan bagian dari pidatonya di depan Sidang Majelis Konstituante pada 1957-1959, dengan judul Islam Sebagai Dasar Negara. Lalu, pemikiran demokrasinya Kahar Muzakkar yang ditulis pada masa Demokrasi Terpimpin dan berisi protes terhadap demokrasi yang diterapkan oleh Presiden Soekarno tersebut.
Oleh : Mudzakkar NB
Wakil Bendahara Umum PB HMI ( Periode 2002-2004 ).
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung (UNPAD).
Catatan : Tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh penulis.