IDEAtimes.id, OPINI – Rancangan Undang-undang Perampasan Aset merupakan usulan dari pemerintah yang bertujuan untuk memberikan otoritas kepada pemerintah untuk menyita atau mengambil alih aset-aset yang diduga diperoleh secara illegal, atau melalui tindakan kriminal.
Dirancang untuk memberikan langkah hukum yang lebih kuat dan konkrit dalam melawan kejahatan terorganisir, korupsi, perdagangan narkoba, pencucian uang, dan kejahatan lainnya. Instrumen ini dibentuk bertujuan untuk menghukum pelaku kriminal dengan cara merampas aset yang mereka dapatkan melalui aktivitas ilegal, sehingga mengurangi insentif dan keuntungan dari tindakan melawan hukum.
Pemerintah diberikan wewenang untuk menyelidiki, mengidentifikasi, dan menyita aset yang diduga berasal dari kegiatan kriminal. Proses ini melibatkan pengumpulan bukti, pemulihan aset, dan penggunaan aset tersebut untuk kepentingan publik.
Aset yang dapat dirampas meliputi uang tunai, properti, kendaraan, rekening bank, dan aset lainnya yang diperoleh secara ilegal. Bahkan
RUU Perampasan Aset menegaskan bahwa perampasan aset dapat dilakukan terhadap pelaku
tindak pidana tanpa adanya putusan pidana.
Sebagaimana dituangkan dalam naskah draf RUU Perampasan Aset, Pasal 2. “Perampasan aset berdasarkan undang-undang ini tidak didasarkan pada penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana,” Pada penjelasan Pasal 2, disebutkan bahwa perampasan aset berdasarkan undang-undang ini adalah termasuk kedalam rezim perdata (civil forfeiture) yang bersifat in rem yaitu suatu tindakan hukum untuk melawan aset itu sendiri, bukan terhadap individu (in personam) seperti dalam perkara pidana.
Selanjutnya pada Pasal 3 Ayat 1 disebutkan bahwa perampasan aset tidak menghapuskan kewenangan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana. “Dalam hal dilakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), aset tindak pidana
yang telah dinyatakan dirampas negara tidak dapat dimintakan untuk dirampas kembali,” demikian bunyi Pasal 3 Ayat 2.
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan bahwa perampasan aset hanya dilakukan satu kali. Putusan pengadilan mengenai perampasan aset dapat juga sebagai alat bukti dalam penuntutan terhadap pelaku tindak pidana.
Kemauan Politik
Penerapan RUU perampasan aset setelah mendapat persetujuan oleh DPR, akan melibatkan kerjasama antara berbagai lembaga pemerintah, seperti kepolisian, jaksa, dan pengadilan. RUU ini diharapkan dapat memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan, merampas sumber daya mereka, dan mencegah kegiatan kriminal lebih lanjut.
Namun, penting juga untuk memastikan bahwa ketika RUU perampasan aset disahkan maka harus dilaksanakan dengan transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang tepat. Perlindungan terhadap hak-hak individu, proses hukum yang adil, dan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan aset yang dirampas harus menjadi perhatian utama dalam penerapan RUU tersebut.
Secara teknis, dikhawatirkan nantinya RUU Perampasan Aset akan menemui kompleksitas dalam implementasinya. Hal ini berkaitan dengan prosedur penyelidikan, pengumpulan bukti, pemulihana set, dan penggunaan aset yang dirampas. Memastikan adanya ketepatan hukum, keadilan, dan transparansi dalam penerapan RUU tersebut merupakan tugas yang rumit.
Oleh karena itu, proses penyusunan dan pembahasan RUU ini bisa memakan waktu yang lama. Belum lagi Ketika menghadapi kontroversi dan perdebatan di kalangan anggota DPR RI. Isu-isu yang terkait dengan batasan kekuasaan pemerintah, perlindungan Hak Asasi Manusia, dan mekanisme pemberlakuan yang adil sering kali menjadi fokus perdebatan.
Pendapat yang berbeda-beda dari anggota parlemen semakin memperlambat proses persetujuan dan pengesahan RUU tersebut. Dipastikan akan menemui benturan kepentingan (conflict of interest) dan perdebatan yang cukup alot dikarenakan keterlibatan berbagai pihak. Sehingga dibutuhkan dukungan politik yang signifikan.
Perubahan dalam dinamika politik tahun ini juga merupakan faktor yang sangat mempengaruhi proses kelancaran pembahasan RUU perampasan aset, padahal RUU ini telah masuk dalam prolegnas tahun 2023 dan menjadi prioritas untuk segera diundangkan.
Ius Constituendum Ius constituendum atau hukum yang dicita-citakan, menyoroti kebutuhan atau tuntutan untuk mengatur suatu masalah hukum yang belum diatur secara memadai dalam sistem hukum yang ada.
Ini mencerminkan pemahaman bahwa perubahan atau adopsi hukum baru diperlukan untuk mengatasi masalah hukum tertentu untuk menghadapi tantangan baru di masa mendatang. Dalam konteks Indonesia, dengan disahkannya RUU tersebut, diharapkan akan semakin memperkokoh eksistensi regulasi terkait lainnya. Perampasan aset yang diatur dalam RUU nanti tidak hanya berkaitan dengan tindak pidana korupsi, tetapi juga tindak pidana umum yang memiliki ancaman pidana penjara 4 tahun atau lebih. Kemudian, terdapat nilai nominal minimal aset yang dirampas, yakni Rp 100 juta.
Sebenarnya, jika merujuk pada Konvensi Antikorupsi PBB (United Nation Convetion against Corruption/UNCAC), Indonesia sudah tertinggal 17 tahun. Sebab, kehadiran regulasi ini seharusnya sudah ada selambat-lambatnya pada 31 Desember 2005 lalu. Oleh karenanya,
dibutuhkan percepatan pembahasan, persetujuan hingga pengesahan RUU ini.
Sebagai hukum yang diangan-angankan di masa mendatang, pembentukannya harus sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat demi perubahan dan kemajuan sistem hukum nasional. Namun, proses pengembangannya, mesti dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, melalui mekanisme yang sah dan demokratis.
Oleh : Abdul Aziz Saleh S.H, M.H Majelis Anggota Nasional PBHI dan Mahasiswa Program Doktoral Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia.
Catatan : Isi tulisan menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya.