IDEAtimes.id, OPINI – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) memiliki peran penting dalam pengelolaan dan kebijakan sektor kesehatan di Indonesia. Berbagai kebijakan yang diterapkan oleh Kemenkes kerap menimbulkan perdebatan di kalangan praktisi medis, organisasi profesi, dan masyarakat umum.
Sehubung dengan banyaknya problematika, kajian ini hadir bertujuan untuk mengulas dan memberikan perspektif kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang ada.
Pada Forum Komunikasi Nasional Tenaga Kesehatan yang di siarkan Kemenkes Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin ingin melakukan naturalisasi dokter asing untuk meningkatkan kualitas tenaga kesehatan namun ada banyak tantangan yang akan memperburuk kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia seperti perbedaan nilai sosial, budaya serta bahasa, sistem kompetensi dokter dan fasilas kesehatan, hingga lapangan kerja dokter indonesia.
Dekan FK Unair sekaligus ketua assosiasi institusi pendidikan kedokteran indonesia (AIPKI) memberi kritikan secara pribadi dan institusi tidak setuju dengan program dokter asing dan yakin FK Indonesia bisa melahirkan dokter berkualitas.
Selang beberapa hari Prof. Dr. dr. Budi Santoso, Sp.OG.(K) diberhentikan melalu surat pemecatan Rektor sebagai Dekan FK Unair tanpa alasan yang jelas, tentu menjadi sebuah pertanyaan mengapa kebebasan berpendapat dipermasalahkan oleh rektor jika tidak terdapat tekanan dari pemilik kebijakan yaitu kementerian kesehatan.
Kabar kematian mahasiswa PPDS FK Undip akibat bullying mengakibatkan penutupan program studi PPDS serta pemberhentian Dr. dr. Yan Wisnu Prajoko, M.Kes, Sp.B, Supsp.Onk(K).
Dalam surat nomor KP.04.06/D.X/7465/2024 perihal penghentian sementara aktivitas klinis, pemberhentian oleh direktur rumah sakit itu dilakukan karena direktur mendapat tekanan dari kementerian kesehatan untuk mengeluarkan keputusan, tentu itu akan merugikan pasien yang tengah menjalani pengobatan
Kasus mutasi dokter oleh kementerian kesehatan lagi dan lagi untuk membungkam kritik. saat Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak di Semarang pada Oktober 2024. Kebijakan kesehatan baru mengatur struktur kelembagaan organisasi profesi yang secara independen berperan dalam menjaga dan mengembangkan standar kompetensi keilmuan kedokteran.
Kolegium yang awalnya berada di bawah naungan organisasi profesi kini menjadi alat kelengkapan di bawah kementerian kesehatan yang secara langsung menunjuk ketua kolegium, yang artinya seorang kementerian kesehatan telah bebas mengacak-acak keilmuan kedokteran.
Hal ini yang kemudian ditentang oleh sejumlah kolegium kesehatan, termasuk Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia (IDAI). IDAI berpandangan, kolegium mestinya dibentuk oleh kelompok ahli tiap disiplin ilmu kesehatan sesuai UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan. Setelah pernyataan sikap IDAI, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia dr. Piprim B Yanuarso dimutasi dari Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo (RSCM) ke Rumah Sakit Fatmawati oleh Kementerian Kesehatan tanpa pemberitahuan resmi dengan alasan pemerataan subspesialis dan masa jabatan yang sudah tua (keterangan dr. Rizky adriansyah) namun kenyataannya dr. Piprim hanya satu satunya Konsultan tumbuh kembang anak.
Tentu dugaan ini adalah indikasi upaya menutup suara terhadap kritikan kebijakan dari kementerian kesehatan
Usai pemberhentian dr. Piprim, isu tersebut mulai terangkat dengan viralitas hingga salah satu dokter spesialis anak konsultan kardiologi menulis kritik terbuka terhadap kasus mutasi dr. Piprim, hingga tak lama setelah itu dr. Rizky dibungkam atas kritikan dengan diberhentikan mendadak oleh kementerian kesehatan dari RSUP Adam malik dengan alasan kedisiplinan namun dr. Rizky tidak pernah mendapati sanksi kedisiplinan baik tertulis maupun lisan, Pendapat dr. Rizky menemukan adanya tekanan dari kementerian kesehatan untuk memberhentikan secara mendadak.
Ini menunjukan bukti bahwa apabila seorang dokter mengkritik salah satu kebijakan kementerian yang kontroversial maka akan diberhentikan tanpa alasan yang jelas.
Prof. Dr. Zainal Muttaqin, PH. D., Sp. Bs menyampaikan kritikan terhadap kebijakan kementerian kesehatan termasuk Rancangan Undang Undang Kesehatan, tak lama setelah itu Prof. Zainal mendapat surat pemberhentian oleh Direktur Utama RS. dr. Kariadi, namun dalam konteks Relasi Kuasa haruslah pemberhentian itu dibaca dan dilakukan oleh Menteri Kesehatan cq. Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes, cq. Dirut RS dr. Kariadi.
Keterangan Prof zainal setelah dipanggil oleh dirut RS Kariadi, disampaikan pesan bahwa menteri kesehatan tersinggung atas tulisannya bahkan tidak ada sekali pelanggaran etik atau hukum UU ITE dalam tulisannya . Dengan kata lain Dirut RS. dr. Karyadi hanyalah alat kekuasaan Menkes saja untuk memberhentikan Prof. Zainal.
Baru-Baru ini terbit surat peraturan menteri kesehatan RI No. 3 Tahun 2025 tentang penegakan disiplin profesi yang dapat menetapkan jenis pelanggaran disiplin profesi sesuai dengan kebutuhan.
Tentu kebijakan ini sengat multitafsir juga dapat menjadi alat untuk berkuasa dan membungkam seluruh dokter dan tenaga profesi yang menentang.
Pemerintah seharusnya membangun kepercayaan dan kolaborasi melalui dialog terbuka dalam merumuskan sebuah kebijakan yang akan berdampak kepada masyarakat bukan membungkam ruang diskusi dengan upaya mutasi dan pemecatan.
Menurut UU No. 5 Tahun 2015 mutasi harus berdasarkan pada sistem meritokrasi, yakni berdasarkan kualifikasi, kompetensi dan kinerja tanpa deskriminasi juga melanggar surat menteri pendayagunaan aparatur negara No.21 tahun 2022 dalam rangka pelaksanaan mutasi kepegawaian wajib menyampaikan alasan dimutasikannya.
Berbagai kebijakan dan wacana kementerian kesehatan dinilai kurang efektif. Pertama adalah dokter spesialis di izinkan menurunkan ilmunya kepada dokter umum untuk melakukan operasi sesar yang saat ini menjadi kompetensi dokter spesialis Obgyn.
Tentu ini adalah masalah yang sangat berbahaya dan resiko untuk meningkatkan kematian ibu dengan mengorbankan standar kompetensi demi memperluas akses. angka kematian ibu melahirkan di Indonesia mencapai 189 per 100.000 kelahiran hidup.
Berdasarkan data tersebut Indonesia akan memiliki resiko tinggi apabila izin terus diperluas, beberapa negara menerapkan hal yang sama dan mayoritas menunjukan peningkatan komplikasi hingga 3 kali lipat pasca operasi.
Kebijakan tersebut sangat berbahaya dan akan menurunkan perlahan standar kompetensi dokter. Ada banyak hal yang dapat dilakukan dengan meminimalisir resiko seperti upaya perbaikan persebaran dokter spesialis melalui program penugasan dokter spesialis hingga ke RSUD, peningkatan telemedicine, Revitalisasi program dokter keluarga atau SPKKLP untuk menjangkau layanan menyeluruh di masyarakat dan perbaikan sistem rujukan. Salah satu kebijakan yang digaungkan adalah memperbolehkan calon dokter spesialis (PPDS) memperoleh penghasilan selama pendidikan namun justru malah membebani tanggung jawab lebih dengan kuliah intensif dan praktik klinis ganda tanpa perlindungan hukum yang memadai justru akan meningkatkan resiko malpraktik, mengorbankan kualitas dan keselamatan pasien.
Kemudian, melalui UU No.17 Tahun 2023 tentang kesehatan dan diatur pada PP No. 28 tahun 2024 kementerian kesehatan mengambil banyak kendali termasuk paling kontroversial adalah Independensi Kolegium yang mengatur standar kompetensi ilmu kedokteran dengan bebas mengangkat dan memberhentikan anggota kolegium, artinya kementerian kesehatan yang bukan berlatar belakang kesehatan telah bebas mengacak ilmu kedokteran.
Salah satunya adalah penurunan standar kompetensi dokter spesialis bahkan rentannya keputusan yang terjerat konflik politik. Perubahan ini mengancam independensi ilmu kedokteran, merusak objektifitas keilmuan karena penyalahgunaan kekuasaan.
Narasi pada dialog kemenkes bersama Rosi banyak menimbulkan pertanyaan, mengatakan bahwa mulai dari pemikiran pemaknaan “kolegium awalnya dari ormas” namun faktanya kolegium dibentuk oleh komunitas profesi melalui organisasi profesi.
Kemudian mengatakan pemilihan kolegium lebih demokratis dengan proses pemilihan kolegium diawali tiga nama terbaik yang terpilih oleh guru besar dan akan ditentukan oleh kemenkes, tentunya pada proses akhir tetap saja berada di tangan Kemenkes.
Kesimpulan
Reformasi akses pelayanan penting, namun mutu pendidikan kedokteran yang akan berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan tidak harus dikorbankan karena dokter harusnya terdidik dengan standar tinggi untuk melayani manusia. Proses pemilihan kolegium seharusnya tidak secara langsung dipilih oleh kementerian kesehatan karena memerlukan independensi dalam mengatur standar kompetensi kedokteran.
Pemerataan layanan kesehatan perlu memperhatikan pemerataan pra sarana dan pemerataan dokternya bukan malah mengacak proses pendidikan dokter. Pelayanan kesehatan juga akan dipengaruhi oleh keseimbangan lintas sektor, mulai dari kementerian, organisasi profesi, organisasi mahasiswa, dan fakultas kedokteran yang harus bersinergis untuk menjaga keseimbangan serta meningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan Indonesia bukannya di bungkam dengan kebijakan dan kekuasaan.
Oleh : dr. Andi Muh Muslih Rijal
Ketua Bidang Kesehatan KNPI Kota Makassar dan Wasekjend PB HMI
Catatan : Opini atau Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.