IDEAtimes.id, MAKASSAR – Front Rakyat Anti Mafia Agraria (FRAMAG) Kota Makassar menyatakan sikap tegas terkait sengketa lahan antara Fatimah Kalla dan PT GMTD Tbk.
Kasus yang kini ramai diperbincangkan publik itu dinilai telah menimbulkan keresahan masyarakat, terutama setelah munculnya keterlibatan aparat bersenjata yang berjaga di lokasi.
FRAMAG menilai, kehadiran aparat bersenjata dalam sengketa tersebut telah keluar dari koridor hukum dan mencederai prinsip netralitas aparat dalam perkara perdata.
Menurut telaah hukum FRAMAG, dasar kepemilikan atas lahan yang disengketakan masih menyimpan persoalan serius.
Surat Kantor Pertanahan Kota Makassar tertanggal 29 Februari 2024 menyebut adanya overlapping atau tumpang tindih sertifikat atas bidang tanah hasil ruislag (tukar guling) tahun 2015.
Kondisi ini, kata FRAMAG, menegaskan perlunya klarifikasi resmi dari BPN untuk memastikan keabsahan objek yang menjadi sumber sengketa.
Ketua Umum Kiwal Garuda Hitam, Erwin Nurdin SE, menilai kehadiran aparat bersenjata di tengah sengketa sipil merupakan bentuk penyimpangan serius dari prinsip keadilan agraria.
“Rakyat tidak boleh kalah menghadapi kekuatan modal yang berlindung di balik kekuasaan. Bila Polda Sulsel tidak segera bersikap tegas dalam waktu 1×24 jam untuk mengosongkan lahan dari oknum bersenjata, maka FRAMAG dan seluruh elemen rakyat siap turun langsung menuntut keadilan. Negara tidak boleh tunduk pada korporasi,” tegas Erwin.
Senada dengan itu, Ketua Umum Relawan Jakarta, Nasrun Macja SH atau yang akrab disapa Dg Accunk, menegaskan bahwa TNI harus ditarik dari lokasi karena tidak memiliki kewenangan dalam perkara perdata.
“Ini ranah hukum sipil, bukan pertahanan negara. Keterlibatan aparat militer di wilayah sengketa merupakan pelanggaran terhadap prinsip netralitas TNI. Kami mendesak Pangdam XIV/Hasanuddin untuk memanggil dan memeriksa seluruh personel yang terlibat. Jangan jadikan TNI alat tekanan bagi rakyat,” ujar Nasrun.
Sementara itu, Ketua Umum LASKAR (Lembaga Study Hukum dan Advokasi Rakyat), Illank Radjab SH, menyoroti kelemahan administratif dalam proses tukar guling yang menjadi dasar kepemilikan lahan tersebut.
Ia menilai, BPN harus segera membuka data secara transparan agar tidak menjadi celah bagi kepentingan tertentu.
“Surat BPN tanggal 29 Februari 2024 sudah cukup menjadi dasar bahwa ada kekeliruan dalam administrasi pertanahan. Sebelum pengadilan memutuskan sah atau tidaknya proses ruislag, tidak boleh ada pihak yang melakukan penguasaan fisik. Ini soal keadilan dan kedaulatan rakyat atas tanah,” jelasnya.
FRAMAG bersama seluruh elemen pendukungnya menyerukan agar Polda Sulawesi Selatan segera mengambil tindakan konkret.
Jika dalam waktu 1×24 jam tidak ada langkah tegas untuk mengosongkan lahan dari keberadaan aparat bersenjata, masyarakat akan menyatakan perlawanan terhadap segala bentuk intervensi bersenjata di tanah sengketa.





