IDEAtimes.id, MAKASSAR – Forum Advokat Probono Makassar Pembela Hak Perempuan & Anak Berhadapan Dengan Hukum membadingkan tuntuntan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap jaksa Pinangki dan tuntutan JPU terhadap Hardianti Ibu single parent dari 3 anak.
Jaksa Pinangki yang telah terbukti melakukan tiga tindakan pidana kelas kakap sekaligus yakni menerima suap, pencucian uang dan pemufakatan jahat yang hanya dituntut empat tahun penjara sedangkan Hardianti Ibu Single parent dari tiga anak ini di tuntut penjara selama 5 tahun 6 bulan dimana dalam fakta persidangan menunjukan hanyalah sebagai korban dari perederan gelap narkotika.
“Tingginya tuntutan JPU terhadap Hardianti dibandingkan dengan tuntutan kepada Jaksa PINANGKI adalah gambaran nyata sikap diskriminatif Kejaksaan terhadap perempuan miskin dan menutup mata terhadap realitas adanya pola eksploitasi kerentanan perempuan miskin dalam peredaran gelap Narkotika,” ucap Abdul Jamil, S.Hi., M.H salah satu tim penasehat hukum terdakwa Hardianti, Minggu, (18/07).
“Di mana fakta persidangan telah menunjukkan bahwa terdakwa Hardianti dalam kasus ini hanyalah sebagai korban dari perederan gelap narkotika. Seorang yang berinisial “HN” (saat ini DPO) telah memanfaatkan kemiskinan Hardianti untuk mengantarkan 3 sachet narkotika jenis sabu kepada salah seorang pecandu (Terdakwa lainnya dalam perkara yang sama), yang ternyata Hardianti sama sekali tidak mendapatkan upah.” tambahnya.
Lebih lanjut Abdul Jamil menjelaskan berdasarkan hasil uji laboratorium forensik Polda Sulsel Nomor Lab: 4992/NNF/XII/2021 Tanggal 11 Desember 2020, tes urin Hardianti positif mengandung metamfetamina, terungkap pula bahwa Hardianti menggunakan narkotika karena beban kehidupan sosialnya yang sehari-hari berprofesi sebagai penjual pisang epe’ di emperan jalan di malam hari serta beban tanggung jawab menghidupi keluarganya dengan tiga anak yang masih kecil-kecil.
“Berdasarkan fakta hukum tersebut, semestinya HARDIANTI dituntut sebagai penyalahguna kategori pengguna yang berhak memperoleh rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial berdasarkan ketentuan Pasal 127 UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Peraturan Kepala BNN No. 11/ 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi dan Surat Edaran jaksa Agung No. SE-002/A/JA/02/2013 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial dan aturan teknis dalam pelaksanaan SEJA tersebut),” tutup Abdul Jamil.
Tri Ariadi Rahmat, S.H yang juga merupakan tim penasehat hukum terdakwa Hardianti menerangkan satu-satunya harapan adalah putusan Hakim yang rencananya akan dibacakan pada hari senin besok (19/07/2021), olehnya itu Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo diharapkan akan memberikan putusan dengan pendekatan Restorative Justice (Keadilan yang memulihkan) yang telah menjadi salah satu arah kebijakan dan strategi bidang penegakan hukum dalam RPJM Nasional 2020 – 2024 (Perpres No. 18/ 2020)
“Putusan Majelis Hakim yang bijak berupa rehabilitasi sosial dan/atau rehabilitasi medis terhadap Hardianti, berdasarkan ketentuan Pasal 127 UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Juncto SEMA No. 4/2010 tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahguna, dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial Juncto SEMA No. 03/ 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahguna Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial,” ucap Tri Ariadi Rahmat, S.H.(*)