IDEAtimes.id, OPINI – Telah menjadi cerita publik banyak dari sosok pimpinan partai politik dengan sumbar menyatakan “ punya duit berapa mau jadi gubernur/bupati/ walikota, cerita yang sama juga dari sisi Seberang yaitu sisi orang kebanyakan yang dalam terminologi negara disebut sebagai “ Rakyat “ petikannya kurang lebih sama “ apa punya duit mau jadi gubernur, bupati atau walikota “.
Sebuah pernyataan penting
mengawali dan membuka perjalanan politik seseorang di negara ini berasal dari dua kutub segmen sosial yang berbeda, berasal dari kutub orang penting, diagungkan dianggap pemimpin dan mewakili konstituen, kutub lainnya dari orang kebanyakan yang diangap sebagai konstituien itu sendiri.
Memilih pemimpin melalui mekanisme demokrasi yang dikenal dengan Pemilu ataupun pemilukada menjadi salah satu
instrument untuk mempertemukan keinginan menjadi pemimpin dan keinginan untuk dipimpin di era demoktasi pasca reformasi.
Membaca jalan terjal politik Indonesia dimulai dengan dialektikan ideologi ideoligi politik aliran yang lahir dan terbentuk sejak pemilu pertama 1955 hingga pemilu kedua 1971 setelah orda lama hilang yang dilanjutkan dengan fusi partai politik pada masa orde baru Dimana politik aliran tersebut disederhanakan mejadi 3
kekuatan inti politik Indonesia, yaitu Nasionalis, Keagamaan dan Kekaryaan, fusi ini berkembang mejadi bentuk yang lebih heterogen pasca reformasi dengan terbentuknya mekanime multi partai yang tidak saja beorientasi pada politik aliran saja tetapi lebih jauh bermetamotfosis ke dalam politik kelompok dengan ragam visi dan ideologinya.
Konsekwensi dari model multi partai saat ini adalah terbukannya secara luas pilihan Masyarakat untuk menjadikan partai politik sebagai instrument demokrasi sesuai keinginan Masyarakat itu sendiri dan hal itu tidak dibatasi oleh ideologi, visi, program, pekerjaan, Pendidikan bahkan usia sekalipun, seseorang bisa saja menjadikan partai ini sebagai kendaraan politik yang bisa diganti kapan saja dan dimana saja, batas batas rasional berpolitik menjadi absurt, visi menjadi kabur, program menjadi slogan basabasi untuk meyakinkan pemilih.
Liberalisasi Demokrasi
Konsep liberal dalam ekonomi mengisyaratkan bahwa kekuatan ekonomi menjadi ideal jika diberi kebebasan untuk berekpresi dan jauh dari campur tangan negara, konsep liberal ini menjadi aneh ketika berinteraksi dalam dunia demokrasi, walaupun intrumen pemilu adalan istrumen yang disiapkan oleh negara untuk
menjamin jalan nya demokrasi tersebut secara jurdil (jujur dan adil).
Salah satu indikator pemilu disebut sebagai pemilu yang jurdil adalah minimnya money politik Dimana uang menjadi instrument utama bagi konstentan politik untuk mendapatkan dukungan politik.
Dari serangkain politik di negri ini hampir bisa dikatakan tidak ada peristiwa hukum yang dinisbahkan kepada peserta politik karena money politik, hamper tidak ada laporan politik uang yang berproses hingga ke pengadilan dan berkekuatan hukum tetap, tidak ada orang yang terhukum karenanya, disisi lainnya ada banyak cerita dan peristiwa Dimana politik uang ini disebut sebagai kunci sukses berkonstetasi di pemilu atau pemilukada, Rakyat tiba tiba menjadi miskin secara sosial di malam pencoblosan, konstentasn pemilu/pemilukada juga berubah wujud menjadi dermawan dadakan yang membagikan dana dalam jumlah besar ke sejumlah orang secara membabi buta, ironisnya hal ini menjadi fenomena gaib. Dapat dicerita di dengar tapi tidak di nyata secara faktuaL (tidak bisa dibuktikan) Ajaib, mungkin ini kata yang tepat untuk politik liberal tersebut.
Kembalinya Barbarian Ekonomi ke Politik.
Faktor ekonomi dalam hal ini finansial meNjadi istrumen awal dan utama untuk memasuki ranah pertarungan politik di negri ini, visi dan program dianggap bahasa lama yang diperlukan dalam urusan lain, hal ini menyebabkan munculnya orang orang baru dengan kapasitas ekonomi super untuk berkonstenstasi di setiap pilkada/pemilu, misalnya munculnya pengusaha perantau dengan jargon pulang kampung berpola gaya politik saweran, atau sosok pengusaha yang tidak memiliki rekam jejak secara sosial politik, dengan Pendidikan minim, kemampuan berkomunikasi yang terbatas tampil semangat akan menuntaskan pengangguran, meningkatkan kesejahteraan,
membangun insfrastruktur hingga memberikan tunjangan sosial, alat peraganya memenuhi billboard, bando dan jalan jalan kota.
Mesyarakat menjadi FOMO dengan fenomena ini, rame rame menjadi volunteer, tim sukses dan tidak hanya orang awan, kelompok intelektual dan pimpinan organisasi formal/informal kemasyarakatan pun juga menjadi bagian yang menumbuh-suburkan fenomena ini, tidak ada lagi yang membicarakan visi besar, tidak ada lagi diskusi diskusi publik yang mengali, menguji dan membicarakan secara kritis pokok pokok pikiran dibalik keinginan menjadi pemimpin di negri ini.
Menunggu kehancuran demokrasi atau segera mengakhirinya
Jika liberalisasi finansial ini mejadi lumrah diruang politik hari ini maka dapat dipastikan tidak ada lagi tokoh publik yang lahir dari ide besar, tidak ada lagi orang
baik yang akan didukung untuk mewakili orang banyak, ruang publik akan di isi oleh pemimpin yang mumpuni secara material, dalam jangka Panjang bisa dibayangkan akan jadi apa negara ini.
Mungkin kita perlu Kembali belajar di zaman pra kemerdekaan dan zaman awalmula kemerdekaan negri ini, Dimana negara ini tidak dibangun oleh orang orang yang mementingkan material diatas gagasan, negara ini dipelopori oleh cendia cedikia yang agamis, oleh pemuda pemuda heroik yang punya semangat ideologi dan visioner.
Bukan dari kalangan aristokrat yang mengandalkan hartanya dan keturunannya untuk diangkat sebgai pemimpin. Saat ini kita menuggu kehancuran atas peristiwa yang kita bangun sendiri, menunggu kehancuran bahwa politik sudah salah arah, rakyat salah kaprah.
Mengakhiri atau mulai memperbaiki, mari kita sadar posisi sadar potensi dan sadar bahwa situasi ini tidak baik baik saja, butuh waktu yang lama untuk memperbaiki keadaan sosial yang rusak sebelum
terlambat mari berubah.
Oleh : Muhammad Natsir
Presidium KAHMI Wilayah Sulsel
Catatan : Tulisan ini menjadi tanggungjawab sepenuhnya oleh penulis.