IDEAtimes.id, Opini;- Dalam perspektif konstitusional salah satu dimensi hak yang harusnya dijamin oleh negara ialah jamininan atas hak kesehatan. Bertalian dengan hak atas kesehatan, saat ini Indonesia tidak sedang sehat-sehat saja dikarenakan kita semua dalam kondisi perang.
Semua mahfum perang yang dihadapi Indonesia saat ini berbeda dengan perang umumnya, dimana kita berperang meelawan musuh yang tidak dapat dijangkau secara kasat mata (Baca: Covid 19) dan parahnya mereka mampu menyerang kita dari berbagai segala penjuru.
Karenanya dalam konteks perang ini, kita mempercayakan para tenaga medis sebagai prajurit untuk berada digarda terdepan melawan wabah epidemik yang telah menyerang kita kurang lebih 2 bulan lamanya.
Merespon kondisi saat ini, pemerintah terus berikhtiar untuk melawan musuh yang tak kasat mata tersebut. Sayangnya, per 22 Maret jumlah masyarakat yang teridentifikasi terus mengalami peningkatan berada pada angka 514 jiwa (positif) dan 48 meninggal, sehingga kondisi yang terus memburuk membuat Indonesia sebagai negara dengan status negara paling tertinggi korban Covid 19 se-Asean.
Tidak dapat dipungkiri sajian data yang menunjukan terus terjadinya peningkatan jumlah masyarakat terjangkit hingga korban telah memicu reaksi negatif oleh publik, sulit terhindarkan bahwa kondisi saat ini juga telah memicu kondisi psikologis berupa rasa cemas terhadap penyebaran wabah epidemik berupa “stress”.
Belum lagi pemberitaan tentang tidak dibekalinya para prajurit (Baca: tenaga medis) dengan seluruh kebutuhan dalam melawan Covid 19, misalnya Alat Pelindung Diri berimplikasi menurukan kepercayaan publik terhadap kesigapan pemerintah melawan Covid 19.
Implikasi negatif lainnya disebabkan oleh belum tersedianya pelayanan pengcekanan Covid 19, dikarenakan pemerintah membatasi pengecekan tersebut. Kondisi saat ini tidak berimplikasi pada kondisi kesehatan tapi juga kondisi ekonomi dan kebutuhan pangan terlebih lagi menjelang bulan Suci Ramadhan, kita tidak pernah tahu sampai kapan kita berada dalam kondisi seperti ini.
Jamak dipahami dalam perspektif hukum tata negara bertalian dengan keadaan negara diperkenalkan dua keadaan, yaitu: negara dalam keadaan biasa (ordinary condition) atau normal dan keadaan negara darurat (state of emergency) (Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi: 2007). Jika dikorelasikan dengan keadaan negara Indonesia saat ini, kita berada dalam keadaan yang tidak diinginkan bahkan tidak berlebihan jika dikategorikan dalam keadaan luar biasa ditandai dengan diselimutinya Indonesia oleh wabah epidemik, bahkan jika dilakukan jajak pendapat publikpun mungkin akan sepakat bahwa jika dilihat dalam perspektif ketatanegaraan saat ini Indonesia dapat dikategorikan dalam keadaan darurat.
Jika pemerintah sepakat menetapkan Indonesia dalam keadaan darurat, ini bukanlah kali pertama, dalam perspektif hukum jika negara dalam keadaan darurat pemerintah diserahkan kewenangan untuk mengesampingkan hukum yang berlaku dalam keadaan normal dengan tetap berdasar pada konstitusi. Di Indonesia secara konstitusional (UUD NRI 1945) kewenangan penetapan kondisi negara dalam keadaan darurat disematkan kepada Presiden melalui Pasal 12 dan Pasal 22.
Penggunaan Pasal 22 dalam konteks melawan wabah pandemik didasarkan pada potret ketentuan peraturan perundang-undangan yang saat ini tidak lagi mampu merespon kebutuhan publik, sebagaimana sabda Nonet dan Selznick bahwa hukum berorientasi pada tujuan yang akan dicapai (Nonet dan Selznick: 2003).
Sayangnya, ketentuan yang dijadikan dasar sejak 1959 hingga saat ini untuk menentapkan keadaan darurat (Perpu 23/1959) tidak merumuskan norma yang mengamanahkan bahwa wabah epidimik bagian dari keadaan bahaya. Sehingga, meskipun oleh UUD NRI 1945 Presiden dibekali kewenangan menyatakan keadaan bahaya, tetapi bagi Presiden masih menemui jalan terjal untuk menetapkan keadaan Indonesia saat ini dalam keadaan bahaya dengan dasar diselimuti wabah epidemik.
Hukum yang selalu tertinggal demikianlah faktanya, ketertinggalan hukum semakin kompleks jika diperhadapkan pada keadaan negara yang tidak normal. Pada akhirnya kita semua akan mengaminkan pada keadaan negara yang sedang tidak normal memiliki norma hukum dan etika tersendiri. Bahkan pada kondisi darurat kita dapat menerima pembatasan yang dilakukan terkait pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia, relevan dengan kondisi Indonesia saat ini.
Mungkin ada yang bertanya jika pemerintah memilih opsi kebijakan meberlakukan lockdown bukankah berpotensi melanggar hak konstitusional berupa hak ekonomi, dikarenakan warga negara tidak dapat beraktifitas mencari dan menjalankan pekerjaan sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhannya?
Sebagaimana pada awal tulisan ini bermaksud medeskripsikan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi. Pada prinsipnya hak asasi manusia wajib dilindungi (protect), dipenuhi (fulfill) dan ditegakkan (enforced), tapi juga penting dipahami hak-hak asasi manusia dapat dilakukan pembatasan, secara khusus jika negara dalam keadaan tidak normal. Indonesia sebagai negara yang meratifikasi International Covenant On Civil and Political Rights dalam memberlakukan pembatasan hak asasi manusia pada keadaan negara yang tidak normal dapat berdalil pada Pasal 4.
Dengan kesadaran penuh, pertimbangan konstitusional dan kondisi sosial saat ini, seharunya pemerintah telah mengambil langkah-langkah riil dalam memerangi wabah pandemik Covid 19. Bahwa terdapat kekurangan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini adalah kewajaran jika pemerintah memilih langkah mulia melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu).
Setidaknya memuat pembaharuan norma yang terdapat dalam UU Penanggulangan Bencana, UU Kesehatan, UU Perdagangan, UU Pemerintah Daerah. Upaya ini akan membatu pemerintah agar tidak gagap memerangi musuh yang nampak. Selain itu untuk merumuskan apa saja yang harus dirumuskan dalam Perpu ada baiknya kita melakukan perbandingan dengan negara yang berhasil dalam melawan Covid 19.
Oleh : Andry Mamonto
Pengajar Hukum Tata Negara, Universitas Muslim Indonesia