IDEAtimes.id, Opini;- Dunia sedang mencari bentuknya, begitulah kira-kira. Dunia sedang berevolusi menuju sebuah tatanan baru yang lebih berkualitas dari tingkatan peradaban sebelumnya.
Alam memberikan interaksi kesalehan alamiah yang selalu menunjukkan pada prinsip; saling kertegantungan, kesatuan, keanekaragaman dan menyeluruh. Sangat disayangkan manusia memiliki kecenderungan untuk mengesploitasi 2/3 sumber daya alam yang ada.
David Quammen, penulis buku Spillover: Animal Infections and the Next Pandemic, meringkas siklus dan penyebab munculnya banyak penyakit: virus, bakteri, kuman, kehilangan tempat tinggal akibat hutan dan alam diinvasi manusia untuk keperluan hidup maupun keserakahan. “Kita memotong pohon, memburu binatang, merenggut mereka dari habitatnya, bahkan menjualnya ke pasar untuk dimakan membuat virus kehilangan rumah alamiahnya,” tulisnya dalam New York Times. “Mereka mencari inang baru dan itu adalah tubuh manusia.”
WHO sudah memprediksi ancaman perubahan iklim terhadap sebaran penyakit infeksi menular sejak 2003. Namun kajiannya baru sebatas demam berdarah dan malaria. Mereka sudah membuat permodelan bagaimana kenaikan suhu dan deforestrasi hutan, akan menyebabkan kenaikan jumlah kasus demam berdarah dan malaria.
Virus corona yang mewabah ke sejumlah negara, hingga kini masih jadi momok menakutkan banyak orang. Pandemi global seperti ini sebetulnya sudah beberapa kali terjadi. Pada Tahun 1976 di Kongo menyebar virus ebola, yang menyebabkan korban meninggal dunia sekitar 14.000 jiwa.
Sementara pada Tahun 2009 di Amerika dan Meksiko mewabah virus H1N1, korban yang menelan korban lebih besar sebanyak 123.000 jiwa. Namun, pandemi dahsyat pernah terjadi sekitar 100 tahun lalu, yakni pada Tahun 1918, dengan menyebarnya flu Spanyol yang menjangkiti 500 juta jiwa (27% dari populasi dunia waktu itu) dan menelan korban meninggal sekitar 75 Juta jiwa. Sudah lebih dari 4 bulan sejak pertama kali munculnya wabah covid-19 yang sangat infeksius ini.
Berdasarkan data dari worldmeters (3/4) angka kematian yang ditimbulkan akibat pandemi Covid-19 sebanyak 54,198 jiwa dengan kasus aktif sebanyak 1,030,199 di seluruh dunia.
Teori the equilibrium of ecology menyatakan sederhananya hidup ini harus seimbang, bila terjadi penguasaan yg berlebihan pada aspek ekologi inilah yg melahirkan ketidak seimbangan sehingga mikro organisme harus bermutasi untuk tetap survive. Menurut Prof. Ridwan Amiruddin seorang guru besar dari Universitas Hasanuddin, faktanya setelah bermutasi menjadi sangat pathogen/mematikan pada kehidupan manusia dan ini setiap satu dekade akan terjadi proses ini, melahirkan corona2 baru yg akan mengambil 30%-60% populasi.
Beberapa Negara yang telah melakukan lockdown atau karantina wilayah untuk menghambat penularan Covid-19 yang lebih meluas. Lockdown sendiri memiliki dampak yang sangat besar terhadap kualitas lingkungan di seluruh dunia.
Melansir dari laman liputan6.com ditemukan penurunan polusi udara di beberapa Negara yang telah melakukan Lockdown. Terjadi angka penurunan konsentrasi Nitrogen Dioksida (NO2) di Kota Madrid, Spanyol sebanyak 41-56%. Di Kota Lisbon, Portugal level NO2 turun 40-51%.
Di Kota Roma, Italia terjadi angka penurunan konsentrasi Nitrogen Dioksida sebesar 26-35%. Di beberapa kota di China terjadi penurunan konsentrasi NO2, emisi gas buang dari kendaraan, pembangkit listrik & pabrik sebanyak 40% sejak penerapan lockdown. New york, Amerika Serikat memiliki kadar karbon monoksida/CO terutama mobil berkurang hingga menyentuh angka 50% dibanding tahun lalu. Di kota New Delhi, India konsentrasi parameter PM 2.5 turun sebanyak 71% dalam waktu hanya sepekan saja sejak penerapan lockdown sedangkan di Jakarta sendiri yang sempat memiliki predikat tertinggi kota yang memiliki tingkat polusi udara tertinggi di ASEAN mengalami penurunan konsentrasi PM 2.5/Partikel debu halus selama penerapan Work From Home/ bekerja dari rumah dengan indeks kualitas udara/AQI rata-rata di angka 60.
Virus corona yang membuat sejumlah aktivitas manusia dan penerbangan terhenti membuat jumlah emisi di beberapa negara jadi berkurang. Selain dampak diatas, kita juga bisa melihat bahwa wabah covid-19 ini mengakibatkan terjadinya pengurangan sampah ditempat-tenpat umum yang biasanya ramai dikunjungi seperti daerah wisata.
Sepinya beberapa tempat ini dari pengunjung terkait dengan kebijakan WHO yang meminta untuk menghindari keramaian sebagai upaya agar terhindar dari virus corona. Adanya himbauan pemerintah, masyarakat diharuskan sebisa mungkin untuk tetap #dirumahaja agar terjadi pemutusan rantai penyebaran corona.
Namun, orang yang bekerja dari rumah justru dinilai dapat meningkatkan penggunaan pemanas rumah dan listrik, pembatasan perjalanan dan perlambatan umum di ekonomi, yang berpengaruh pada emisi keseluruhan.
Sudah banyak peringatan yang telah bumi tunjukkan kepada manusia, dengan berbagai bencana alam yang telah memporak-porandakan disebagian wilayah Indonesia dan dunia. Banjir, gempa bumi, longsor, kebakaran hutan, abrasi dan masih banyak lagi yang sebenarnya akar masalah adalah ulah dari manusia itu sendiri. Manusia seakan menutup mata dan telinga lalu tetap saja melakukan kerusakan di muka bumi.
Saat ini pandemi Covid-19 adalah peringatan yang paling nyata. Diperlukan jiwa yang besar untuk bersama-sama memerangi pandemi ini. Krisis ini hanya bisa kita cegah manakala kita semua, siapapun kita, dan apapun posisi kita, turut mengambil peran aktif di dalamnya.
Salah satunya, dengan mematuhi arahan pemerintah dan ulama yakni meminimalisir interkasi fisik dan berkumpul. Sebagian masyarakat masih cenderung meremehkan sehingga angka kejadiannya terus meningkat tiap harinya. Ini adalah saatnya kita menunjukkan sisi kemanusiaan kita dengan tidak bertindak egois sehingga mengorbankan sesuatu yang lebih besar nantinya.
Lewat tulisan singkat ini saya juga mengajak semua pembaca untuk bersama-sama ikut ambil bagian dalam rangka mendukung kebijakan penghematan energi dan mengurangi pemanasan global dengan mengurangi penggunaan listrik yang tidak cukup penting selama #dirumahaja. Saat ini kita semua sedang berperang melawan covid-19 dan juga dapat sama-sama memulihkan bumi dari sakit yang berkepanjangan.
Ayu Puspitasari, SKM., M.Kes