IDEAtimes.id, MAKASSAR – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 telah usai digelar di seluruh wilayah Indonesia.
Bahkan, KPU ditingkat provinsi dan kabupaten / kota juga telah melakukan rekapitulasi suara.
Saat ini, para pasangan calon (Paslon) yang kalah di Pilkada dipersilahkan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika terdapat kekeliruan dalam proses tahapan Pilkada.
Berdasarkan lamam web MK, saat ini sebanyak 153 permohonan sengketa Pilkada dari seluruh wilayah yang telah didaftarkan.
Lantas kenapa Paslon yang kalah masih melakukan gugatan ke MK ?
Pengamat Politik Profetik Institute Asratillah dalam pandangannya mengatakan, sengketa atau gugatan ke MK sah secara hukum.
Itu kata dia bisa dilakukan oleh setiap kandidat yang merasa keberatan dengan hasil pemilihan yang baru saja dilalui.
“Secara hukum, memang setiap kandidat yang merasa keberatan dengan hasil pemilihan bisa mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi.” ungkap Asratillah saat dihubungi, Rabu, (11/12).
“Namun apakah nanti keberatan atau gugatan yang diajukan memenuhi persyaratan formil adalah hal lain. Dan apakah nantinya gugatan tersebut diterima atau tidak, adalah sesuatu yang tidak gampang karena mesti ditopang oleh alat bukti dan argumentasi hukum yang kokoh.” jelas dia.
Akan tetapi lanjut dia, selain persoalan hukum, ceritanya juga akan berbeda jika mempertanyakan motif politik dibalik pengajuan gugatan seorang cakada ke MK.
Karena lanjut dia, gugatan ke MK merupakan salah satu bentuk komunikasi politik itu sendiri.
“Artinya, jika seorang Cakada menggugat dia juga sebenarnya memberikan pesan politik kepada aktor-aktor politik lain, apakah kepada kandidat lain, apakah ke partai politik dan elit politisi lain, ataukah kepada pemilih secara umum.” tegas dia.
“Jika kita melihat gugatan ke MK sebagai pesan politik, maka si pengaju gugatan tentu mengharap respon tertentu dari pihak-pihak yang saya sebutkan diatas. Respon itu bisa berupa re-bargaining politik, atau juga bisa berupa rekonsiliasi dengan pihak-pihak yang dianggap kelompok pemenang. Atau bisa juga merupakan upaya untuk mencitrakan diri dihadapan publik sebagai pihak yang kalah terhormat, kalah karena dicurangi dan sebagainya.” tuturnya.
Namun dia menilai, apa yang dipaparkannya juga tergantung dari latar belakang cakada yang menggugat.
“Kalau misalnya cakadanya adalah incumbent atau gerbong incumbent yang kalah, bisa saja pengajuan gugatan punya kaitan erat dengan proses transisi kepemimpinan. Atau dalam beberapa kasus tertentu bisa juga dalam rangka mengulur waktu karena adanya agenda-agenda yang mesti dirampungkan.” tambahnya.
Menutup pandangannya, Asratillah meminta semua pihak agar mempercayakan kepada MK untuk menilai gugatan para Cakada.
“Namun kita percayakan saja ke MK, untuk menilai gugatan yang diajukan oleh beberapa cakada.” harapnya.
“Di satu sisi gugatan ke MK bisa dilihat sebagai cara untuk mengkanalisasi konflik kepentingan pasca pilkada secara legal, di sisi lain sebagai instrumen untuk mengevaluasi jalannya pilakda agar ke depannya bisa lebih baik.” tandas dia. (*)