IDEAtimes.id, MAKASSAR – Aktivitas pertambangan PT Gag Nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya hingga kini terus disoroti.
PT Gag Nikel disoroti oleh aksi juru kampanye hutan Greenpeace, Iqbal Damanik beberapa waktu lalu.
Iqbal bersama anak-anak muda dari Papua melakukan protes dalam kegiatan Indonesia Critical Minerals Conference and Expo di Jakarta pada 3 Juni 2025.
Greenpeace menilai, pemerintah lalai dalam melindungi gugusan pulau di Raja Ampat, Papua.
Raja Ampat sendiri dikenal sebagai destinasi wisata yang luar biasa dan sudah diakui UNESCO.
Merespons kejadian ini, Dosen Program Studi Pertambangan Universitas Andi Djemma (Unanda) Palopo Ittong Sulle S.T, M.T buka suara.
Ittong mengatakan, penambangan yang sedang berlangsung di Raja Ampat itu dipastikan akan merusak lingkungan.
“Penambangan di Raja Ampat itu merusak, biar di sembunyikan bagaimana pun. Masalahnya penambangan pada pulau kecil sangat beresiko, apalagi pada ekosistem laut raja ampat yang terkenal dengan biodiversity bawah lautnya.” ungkap Ittong kepada awak media, Senin, (09/6).
“Dimana lebih dari 2.000 jenis biota laut, termasuk 450 jenis karang, 950 jenis ikan terumbu karang, dan 600 jenis moluska.” tambahnya.
Ittong melanjutkan, pada penambangan pulau kecil, air limpasan dari area tambang sangat mudah mengalir ke laut lepas.
Hal inilah yang kemudian berimbas pada kehidupan biota laut dan terpapar logam berat seperti Cr+6, Fe, Ni, dan lain-lain.
“Kerusakan pada laut terjadi akibat pengendapan sedimen dari lokasi pertambangan ke laut lepas akan berimbas pada banyak aspek.” jelasnya.
“Jika ingin di teliti lebih lanjut maka harus diperhatikan terkait laju pertumbuhan karang dan biota laut lainnya, serta penelitian mengenai paparan logam pada biota laut.” beber dia.
Ittong memaparkan, dampak dari aktivitas pertambangan ini memnag tidak terjadi secara spontan tapi dalam jangka panjang.
“Masalahnya apakah kita mau mengorbankan biodiversity laut yang paling kaya di dunia yang kita miliki dengan jumlah tonase nikel yang akan kita keruk.” tegasnya.
Masalah lain ungkap Ittong, meski Perusahaan mengatakan telah menerapkan Amdal dengan baik tapi dampaknya akan tetap ada bagi raja ampat.
Itu disebabkan standar ambang batas berlaku sama antara wilayah lain dengan wilayah Raja Ampat, padahal resikonya jauh berbeda.
“Hewan-hewan biota laut Raja Ampat ampat rentan pada paparan logam dan sedimentasi sedimen hasil penambangan.” tuturnya.
“This is the last paradise, yang kita miliki. Tidak ada nilai yang sebanding untuk itu.” katanya.
Sehingga alumni Universitas Veteran Republik Indonesia (UVRI) Makassar itu menegaskan jika persoalan di Raja Ampat tersebut lebih ke masalah lingkungan.
“Jadi memang itu disana (Raja Ampat) persoalan lingkungan pada wilayah laut dengan biodiversity tertinggi di dunia.” tutup dia.
Versi Menteri ESDM Bahlil Lahadalia
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa aktivitas tambang nikel di Raja Ampat tidak mengganggu kawasan pariwisata utama seperti Pulau Piaynemo.
Ia menyebut lokasi tambang berada di Pulau Gag, yang jaraknya sekitar 30–40 kilometer dari destinasi wisata ikonik tersebut.
“Piaynemo itu pulau pariwisatanya Raja Ampat. Saya sering di Raja Ampat. Pulau Piaynemo dengan Pulau Gag itu kurang lebih sekitar 30 km sampai dengan 40 km,” ujar Bahlil dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (5/6/2025) mengutip kompas.com.
Menurut Bahlil, Raja Ampat merupakan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau dengan fungsi berbeda, sebagian besar memang ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan pariwisata, namun ada juga zona pertambangan resmi seperti di Pulau Gag. (*)